Sabtu, 11 Desember 2010
0
Reformasi hukum yang dilancarkan selama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono belum berhasil menyentuh mafia peradilan. Para pengacara yang berkolusi dengan penegak hukum dalam penanganan perkara, khususnya kasus korupsi, justru telah menjegal proses reformasi hukum. Karena itu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus tegas terhadap praktek mafia peradilan yang dilakukan juga oleh para ”pengacara hitam”.
Selama ini lembaga profesi pengacara semacam Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) juga belum bisa secara maksimal menindak para anggotanya yang melakukan pelanggaran. Pemecatan terhadap pengacara senior, Todung Mulya Lubis yang dilakukan oleh PERADI, lebih menunjukan nuansa bahwa lembaga profesi advokat pun tidak bebas kepentingan. Dengan alasan kode etik advokat, mereka bisa menghukum seorang pengacara yang justru memiliki dedikasi dan integritas yang tinggi dalam pemberantasan korupsi.
Mafia peradilan sudah lama menggrogoti sistem peradilan nasional. Sistem peradilan kita yang tidak efektif dan mekanisme yang tidak jalan telah melahirkan demoralisasi sehingga muncul keadaan ini. Praktek ini tidak hanya melibatkan instansi atau aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan, melainkan juga sebagian advokat atau penasihat hukum.
Ada pengacara yang diduga kuat menyuap hakim, jaksa, bahkan saksi agar memutus, mendakwa, dan menuntut serta memberi keterangan secara tidak benar di pengadilan. Ada juga yang memalsukan vonis hakim. Bahkan untuk melancarkan operasinya, banyak pengacara yang mempunyai agen (orang dalam) di kantor-kantor pengadilan, kejaksaan, dan kepolisian mulai dari daerah sampai ke ke pusat, tak terkecuali di Mahkamah Agung.
Muncul juga kreativitas baru di dalam dunia peradilan, yakni dibentuknya tim lobi untuk menangani suatu perkara hukum sebagai bagian dari tim pengacara. Perkara tidak lagi ditangani dengan membangun argumen hukum yang logis agar menang, melainkan dilakukan dengan lobi-lobi ke berbagai pihak seperti pejabat pengadilan agar menang, minimal putusannya lebih ringan. Lebih menyedihkan lagi, sekarang ini, saksi ahli pun diduga bisa dibeli oleh pengacara agar bisa memberikan kesaksian sesuai pesanan mereka.
Tidak heran jika Global Corruption Report 2007 yang diluncurkan oleh Transparency International, sebuah koalisi global antikorupsi memilih tema Corruption in Judicial Systems. Korupsi dianggap melumpuhkan sistem yudisial di seluruh dunia termasuk Indonesia serta menghalangi hak asasi manusia akan peradilan yang adil dan tidak berpihak. Dengan adanya korupsi yudisial yang salah satunya dimainkan oleh pengacara, mereka yang benar kehilangan hak didengar sedangkan yang bersalah tidak tersentuh oleh hukum.
Untuk mengatasi masalah mafia peradilan tersebut perlu diambil langkah-langkah sebagai berikut:
1. Pemerintah sudah semestinya membuat cetak biru program reformasi peradilan untuk menghindari maraknya praktik mafia. Sebab suap di lembaga peradilan bisa bermula karena pemerasan dari oknum penegak hukum, atau sebaliknya dari pihak yang berperkara dalam hal ini pengacara. Untuk itu, reformasi peradilan perlu kembali dilakukan untuk mendorong lahirnya hakim dan jaksa yang bersih dan independen.
2. Diperlukan langkah strategis untuk mengawasi para hakim, jaksa dan juga pengacara. Praktik suap akan menjadi semakin tak terkontrol ketika pengawasan internal tidak berfungsi dengan baik. Pengawasan itu seyogyanya dijalankan juga oleh Komisi Yudisial (KY). Bagaimanapun spirit pembentukan KY adalah untuk mengatasi mafia peradilan.
3. Lembaga peradilan juga sudah seharusnya bersinergi dengan KPK untuk mengungkap semua indikasi korupsi peradilan, baik yang dilakukan oleh hakim maupun pengacara. Sudah saatnya KPK juga menyentuh ”pengacara hitam” dalam pemberantasan korupsi
4. Dewan kehormatan dari lembaga-lembaga advokat/pengacara harus berani mengambil tindakan keras terhadap anggotanya yang melanggar kode etik advokat, yang menyuap dan menghalalkan segala cara untuk memenangkan perkara klien-nya
Pengacara Hitam di Mafia Peradilan
Reformasi hukum yang dilancarkan selama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono belum berhasil menyentuh mafia peradilan. Para pengacara yang berkolusi dengan penegak hukum dalam penanganan perkara, khususnya kasus korupsi, justru telah menjegal proses reformasi hukum. Karena itu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus tegas terhadap praktek mafia peradilan yang dilakukan juga oleh para ”pengacara hitam”.
Selama ini lembaga profesi pengacara semacam Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) juga belum bisa secara maksimal menindak para anggotanya yang melakukan pelanggaran. Pemecatan terhadap pengacara senior, Todung Mulya Lubis yang dilakukan oleh PERADI, lebih menunjukan nuansa bahwa lembaga profesi advokat pun tidak bebas kepentingan. Dengan alasan kode etik advokat, mereka bisa menghukum seorang pengacara yang justru memiliki dedikasi dan integritas yang tinggi dalam pemberantasan korupsi.
Mafia peradilan sudah lama menggrogoti sistem peradilan nasional. Sistem peradilan kita yang tidak efektif dan mekanisme yang tidak jalan telah melahirkan demoralisasi sehingga muncul keadaan ini. Praktek ini tidak hanya melibatkan instansi atau aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan, melainkan juga sebagian advokat atau penasihat hukum.
Ada pengacara yang diduga kuat menyuap hakim, jaksa, bahkan saksi agar memutus, mendakwa, dan menuntut serta memberi keterangan secara tidak benar di pengadilan. Ada juga yang memalsukan vonis hakim. Bahkan untuk melancarkan operasinya, banyak pengacara yang mempunyai agen (orang dalam) di kantor-kantor pengadilan, kejaksaan, dan kepolisian mulai dari daerah sampai ke ke pusat, tak terkecuali di Mahkamah Agung.
Muncul juga kreativitas baru di dalam dunia peradilan, yakni dibentuknya tim lobi untuk menangani suatu perkara hukum sebagai bagian dari tim pengacara. Perkara tidak lagi ditangani dengan membangun argumen hukum yang logis agar menang, melainkan dilakukan dengan lobi-lobi ke berbagai pihak seperti pejabat pengadilan agar menang, minimal putusannya lebih ringan. Lebih menyedihkan lagi, sekarang ini, saksi ahli pun diduga bisa dibeli oleh pengacara agar bisa memberikan kesaksian sesuai pesanan mereka.
Tidak heran jika Global Corruption Report 2007 yang diluncurkan oleh Transparency International, sebuah koalisi global antikorupsi memilih tema Corruption in Judicial Systems. Korupsi dianggap melumpuhkan sistem yudisial di seluruh dunia termasuk Indonesia serta menghalangi hak asasi manusia akan peradilan yang adil dan tidak berpihak. Dengan adanya korupsi yudisial yang salah satunya dimainkan oleh pengacara, mereka yang benar kehilangan hak didengar sedangkan yang bersalah tidak tersentuh oleh hukum.
Untuk mengatasi masalah mafia peradilan tersebut perlu diambil langkah-langkah sebagai berikut:
1. Pemerintah sudah semestinya membuat cetak biru program reformasi peradilan untuk menghindari maraknya praktik mafia. Sebab suap di lembaga peradilan bisa bermula karena pemerasan dari oknum penegak hukum, atau sebaliknya dari pihak yang berperkara dalam hal ini pengacara. Untuk itu, reformasi peradilan perlu kembali dilakukan untuk mendorong lahirnya hakim dan jaksa yang bersih dan independen.
2. Diperlukan langkah strategis untuk mengawasi para hakim, jaksa dan juga pengacara. Praktik suap akan menjadi semakin tak terkontrol ketika pengawasan internal tidak berfungsi dengan baik. Pengawasan itu seyogyanya dijalankan juga oleh Komisi Yudisial (KY). Bagaimanapun spirit pembentukan KY adalah untuk mengatasi mafia peradilan.
3. Lembaga peradilan juga sudah seharusnya bersinergi dengan KPK untuk mengungkap semua indikasi korupsi peradilan, baik yang dilakukan oleh hakim maupun pengacara. Sudah saatnya KPK juga menyentuh ”pengacara hitam” dalam pemberantasan korupsi
4. Dewan kehormatan dari lembaga-lembaga advokat/pengacara harus berani mengambil tindakan keras terhadap anggotanya yang melanggar kode etik advokat, yang menyuap dan menghalalkan segala cara untuk memenangkan perkara klien-nya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Responses to “Pengacara Hitam di Mafia Peradilan”
Posting Komentar